
Coach Hafidin | 0812-8927-8201
Sebuah Dialog Penuh Makna antara Mentor dan Mentee
📩 Di sebuah malam yang hening, seorang mentee mengirimkan pesan kepada mentornya. Isi pesannya sederhana, tapi berbobot. Sebuah pertanyaan yang sering muncul di kepala para suami, tapi jarang yang berani mengutarakan:
“Ustadz, apakah baik buruknya istri itu tergantung dari suaminya? Atau bahkan tidak sama sekali?”
👤 Mentor itu tak langsung menjawab panjang lebar. Ia memilih menanamkan satu kalimat kunci:
“Pengaruh suami sangat besar. Istri juga punya potensi besar.”
💬 Jawaban itu membuka pintu diskusi lebih dalam.
“Tapi… kalau istri baik atau buruk, apa itu jadi tanggung jawab suami?”
Mentornya menjawab dengan kalimat yang menyentuh tanggung jawab spiritual dan moral seorang lelaki:
“Ya. Selama masih jadi istri.”
🧠 Terdengar sederhana. Tapi itu kalimat yang mengandung konsekuensi sangat dalam. Bahwa selama akad pernikahan masih mengikat, selama nafkah lahir batin masih berjalan, selama cinta masih diperjuangkan—maka seorang suami tetap memikul tanggung jawab penuh atas istri, bukan hanya lahiriah, tapi juga batiniahnya.
Namun mentee belum puas. Ia menumpahkan isi hatinya lebih jujur:
“Kalau suami sudah mendidik, menasihati, mengajari, tapi istri masih ‘error’ juga, apa itu tetap salah suami? Dan apa tetap tanggung jawab suami?”
Pertanyaan itu seperti jeritan batin para suami yang merasa sudah berikhtiar, tapi belum melihat perubahan pada pasangannya. Sang mentor menanggapi dengan kelembutan yang tajam:
“Salah pasti ada. Tapi, terbaik mulailah menjadikan error istri sebagai ladang amal shalih. Suami tetap bertanggung jawab untuk terus menjadikan istri lebih shalihah.”
😢 Kalimat itu seperti tamparan dan pelukan dalam satu waktu.
🫂 Tamparan, bagi ego suami yang ingin cepat menyerah dan menyalahkan.
Pelukan, bagi hati suami yang lelah tapi tetap ingin memimpin dengan cinta.
Mentor ini tidak menihilkan usaha suami. Tapi ia menggeser perspektif:
“Jadikan error istri sebagai ladang amal shalih.”
🌱 Alih-alih frustrasi, suami diajak menikmati proses perbaikan istri sebagai bentuk kedewasaan spiritual. Bahwa memimpin istri bukan hanya tugas teknis, tapi perjalanan ruhani.
Bahwa istri yang belum berubah bukan alasan untuk berhenti berjuang, tapi alasan untuk lebih bertumbuh.
📚 Dalam dunia mentoring, percakapan seperti ini menjadi pondasi perubahan. Bukan karena jawabannya serba instan, tapi karena cara berpikirnya diubah secara mendasar.
👑 Seorang lelaki yang ingin poligami, misalnya, tak bisa hanya melihat “kesalahan istri pertama” sebagai dalih. Justru, seberapa dalam ia mampu membimbing, menuntun, dan mentransformasi istri pertamanya menjadi lebih shalihah—itulah ukuran sejatinya seorang Qowwam.
Karena menjadi suami, apalagi mentor rumah tangga, bukan soal merasa paling benar. Tapi soal siapa yang paling sabar membenarkan dengan cinta.
💖 Dan cinta… tak selalu datang dari istri yang sudah sempurna. Tapi seringkali tumbuh, justru saat kita bersedia menemani istri kita menyempurna.
Barokallah fiikum
Coach Hafidin – Mentor Poligami Expert
Baca Juga: